Selasa, 30 Juni 2015

berasal dari TEMAN IMAJI







Sebut saja, salah satu kesenanganku adalah membaca, 
dan menemukan kesenangan itu salah satunya pada TEMAN IMAJI.

sebut saja aku pencinta-penikmat-penggemar nomor satu HUJAN, 
dan bertemu TEMAN IMAJI sebagai partner pencinta-penikmat-penggemar nomor satu hujan adalah takdir.

Terimakasih TEMAN IMAJI.
Terimakasih teh uti.

Hujan bulan April: mendera
Hujan bulan Mei: aneh
Hujan bulan Juni: tabah
Hujan bulan Juli: berisik
Hujan bulan Agustus: jujur dan sederhana
Hujan bulan September: manis
Hujan bulan Oktober: semangat
Hujan bulan November: teduh
Hujan bulan Desember: lembut
Hujan bulan Januari: tak berkesudahan
Hujan bulan Februari: warna-warni
Hujan bulan Maret: temukan jawabannya di www.temanimaji.com

Ukhuwah Islamiyah

Assalamu'alaikum wr.wb
Sudah lama tak bersua dengan kolom tulisan ini.
Alhamdulilah diberikan rezeki keluangan waktu dan ide tulisan, maka postingan ini muncul.
Saya adalah pembaca, penikmat tulisan, juga penulis.Beberapa waktu lalu saya berkunjung ke tumblr teman SMA saya, dia Tika (http://rrramk.tumblr.com)
Dan menemukan tulisan yang membahas mengenai 'Ukhuwah Islamiyah'.
Tulisan itu berupa dialog yang sarat makna, postingannya seperti gambar di bawah ini. 



Sederhana, halus, dan penuh tanda tanya. Saya pun penasaran maka saya kroscek langsung ke Tika tentang dialog singkat nan sederhana itu. Dan penjelasan Tika pun sangat sederhana, berikut penjelasan Tika.
TINGKATAN UKHUWAH
-Tingkatan ukhuwah:
1. Taaruf (kenal)
2. Tafahum (kenal dan memahami sifat, latar belakang, cita2 dan pola pikirnya)
3. Takaful (saling meringankan beban, tolong menolong dlm kebaikan)
4. Insar (mengutamakan org lain drpd diri kita sendiri)
kalo dlm ibadah ga boleh krn waktu gda yg tau sampe kpn
-di surga ada org yg duduk di mimbar bercahaya sampe membuat sahabat iri, org2 itu adalah org yg saling mencintai krn Allah (mencintai seseorg tanpa ada embel2 lain, dan ketika bersama dia kita jd semakin dekat sm Allah).
Hadits: Salah satu org yg tdk disukai adalah org yg bermuka dua (yaitu org yg pilih-pilih teman)
akhlaq: tindakan dan sifat yg kita lakukan di luar kontrol kita, tanpa perlu dipikir
-dlm ukhuwah ga boleh iri. Iri itu menghapus kebaikan seperti kayu dibakar api. Iri cm blh kpd org berilmu yg mengamalkan dan org yg memiliki harta dan diinfaq kan
dengki = iri + menghilangkan nikmat yg dimiliki org lain
-kita hrs memperlakukan org lain agar ia merasa istimewa, tp ga blh menjilat
-memuji di belakang org, di depan org kita hrs ngomong lgsg
Kalau kajian ttg Al Hujurat, banyak materi ttg Ukhuwah di situ..

Penjelasan untuk dialog di tumblr Tika sebagai berikut
Nah.. kan menurut poin ke-4 dalam tingkatan ukhuwah itu, kita hrs mengutamakan org lain drpd diri kita sendiri an.. aku lupa, entah ada sahabat atau orang lain yg membuktikan poin ini, sampe2 dia rela memberikan apa yg dia sangat sukai buat saudaranya, ketika saudaranya punya keinginan untuk memiliki itu..
Misal aan suka banget sama kerudung bunga2, trus aku memuji kerudung aan dan nanya beli dimana smp 3 kali, nah kalau aan benar2 sampe insar, aan ikhlas memberikan kerudungnya buat aku.. tp ini ga dibuat2 ya harusnya, aku harusnya tulus memuji juga, gitu
Iyaaa bukan kewajiban kok an. Itu mah bahasanya temen aku aja an, hahaha

Whuaaa jelas banget dan senang mengetahui hal tentang Ukhuwah Islamiyah.
InsyaAllah akan lebih belajar akan hal itu. Terimakasih Tika.

Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (QS.Al-Hujurat: 10).

Wassalamu'alaikum wr.wb

Salam,
Annisa

Jumat, 26 Juni 2015

Menikah dan Berpuasalah



Sekitar tujuh tahun yang lalu, ketika hendak menikah, saya mendatangi guru saya untuk meminta nasihat tentang pernikahan.
Sebagai seorang laki-laki, ada sejumlah kebimbangan dalam hati saya. Di satu sisi, saya ingin segera menikah karena saya merasa sudah menemukan ‘jodoh’ saya. Di sisi lain, saya masih merasa belum mampu menjalani pernikahan tersebut—terkait kesiapan mental, kesiapan batin, terlebih kesiapan materi karena barangkali kelak saya yang akan memegang tanggung jawab finansial lebih besar dalam rumah tangga.

“Kalau kamu belum mampu menikah, berpuasalah!” Kalimat itulah yang pertama kali diucapkan guru saya setelah saya menceritakan semuanya. Dingin dan datar.

Rasanya saya ingin bertanya, apakah puasa akan menyelesaikan masalah-masalah yang saya keluhkan? Apakah puasa akan membuat saya siap secara fisik, mental, batin, bahkan finansial? Namun, saya tak berani mempertanyakan semua itu kepada guru saya, hingga saya menanyakan hal lainnya—

“Saya mengerti tentang bahwa kita harus menahan diri, Kiai, menjaga pandangan dan kehormatan,” ujar saya, berusaha memberanikan diri, “Tapi saya ingin menikah bukan karena saya tidak bisa menahan nafsu seksual saya…”

Guru saya mendelik, “Kamu belum siap untuk menikah, Nak,” ujar guru saya, “Maka berpuasalah!”

Ada yang berontak dalam diri saya. “Ini soal lain, Kiai. Lebih ke soal bahwa saya khawatir saya belum siap membimbing istri saya atau menafkahinya secara materi. Bukan tentang hasrat seksual yang tak bisa saya tahan. Mengapa saya harus berpuasa juga?”

“Jangan remehkan perkataan nabimu!” Kata guru saya lagi, kali ini dengan suara agak meninggi. Saya tahu nasihat itu beliau ambil dari hadits Nabi. Tapi, saya bukan sedang ingin meremehkannya. “Berpuasalah!” Guru saya tetap pada perkataannya.

Saya tak ingin mendebat lagi. Maka saya menjalankan nasihatnya.

Bulan demi bulan, berganti tahun, saya tak kunjung menemukan solusi dari kecemasan saya selama ini. Niat menikah saya justru makin kendur karena kian tak yakin apakah saya siap menjadi imam untuk istri saya, apakah saya siap bertanggungjawab pada seluruh aspek kehidupan keluarga saya nanti?

Maka saya mendatangi guru saya lagi.

“Saya sudah berpuasa, Kiai,” ujar saya, “Tapi tak ada perubahan!”

Guru saya menatap mata saya, “Perbaiki kualitas puasamu,” ujarnya, “Kamu hanya berpuasa untuk menahan nafsu makan dan nafsu seksualmu!”

Deg! Tiba-tiba saya menyadari bahwa selama ini saya hanya menjalani puasa yang kekanak-kanakan tanpa benar-benar menghayati apa sesungguhnya pelajaran di balik semua itu.

“Jadi, apa yang harus saya lakukan dengan perintah itu, Kiai?”

“Berpuasalah seperti kamu menjalani puasa Ramadhan,” jawab guru saya, “Berpuasalah seperti seseorang yang kamu memperbaiki kualitas-kualitas dirimu selama menjalani puasa itu. Berpuasalah seperti seseorang yang ingin mengubah dirinya dari seekor ulat menjadi kupu-kupu.”

Saya terdiam. Tak bisa berkata apa-apa selain menyadari bahwa selama ini saya berpuasa tetapi tak memperbaiki kualitas diri saya.

“Apa yang perlu kamu lakukan untuk kuat berpuasa, Nak?” Tanya guru saya.

“Saya sahur, Kiai,” jawab saya.

Guru saya mengangguk-angguk, “Sahur mengajarimu tentang persiapan dan perencanaan. Mungkin kamu akan kuat berpuasa seharian tanpa sahur. Tetapi dengan bangun sahur, kamu melatih dirimu menjadi pribadi yang bertanggung jawab. Kamu mempersiapkan dirimu untuk menjalani puasa sebaik mungkin. Kamu menghitung apa yang perlu kamu makan saat sahur sehingga kamu kuat menjalani aktivitas terberat sekalipun saat berpuasa. Jika sahurmu baik, maka kamu akan siap melakukan yang terbaik dalam puasamu.”

Saya mendengarkan perkataan guru saya dengan seksama, rasanya ingin mencatat semuanya—

“Puasa bukan hanya melatihmu tentang kesabaran. Ia juga melatihmu tentang kejujuran dan rasa hormat. Nilai-nilai itulah yang penting kau miliki saat berumah tangga. Apa gunanya berpuasa tetapi kamu tak menjalani puasa itu? Apa gunanya menahan haus dan lapar tetapi kamu hanya tidur seharian? Itulah mengapa semua aktivitas yang kau lakukan selama puasa memiliki nilai yang berlipat ganda, jika kau menyadari betapa penting semuanya untuk meningkatkan kualitas dirimu sebagai seorang manusia.”

Saya tak bisa berkata-kata lagi.

“Kelak jika sudah saatnya, kau akan berbuka. Itu bukan tentang melampiaskan nafsumu. Bukan tentang membayar semua lapar yang kau tahan seharian. Buka puasa mengajari kita dua hal. Pertama, ia adalah tentang menyadari bahwa diri kita punya batas-batasnya. Kita tak bisa terus-menerus menahan lapar dan haus, kan? Maka kita perlu makan. Batas itu mengajari kita sikap mawas diri. Kedua, buka puasa juga mengajari kita tentang merayakan kebahagiaan. Percuma saja kualitas dirimu meningkat selama puasa jika kamu tak memberi ruang pada dirimu sendiri untuk berbahagia. Dua hal itu kelak penting untukmu saat kau berumah tangga.”

Saya tertegun. Ada yang tertahan di tenggorokan. “Rupanya saya harus memperbaiki puasa saya, Kiai. Agar saya siap.”

Guru saya tersenyum. “Kau kira anjuran berpuasa saat kau belum siap menikah tak berhubungan dengan semua aspek yang selama ini kau keluhkan, termasuk soal kemapanan hartamu? Nak, cobalah terapkan prinsip sahur-puas-buka dalam usahamu seperti yang sudah aku jelaskan tadi. Jika tak ada perubahan apa-apa dalam hidupmu, baru kau bisa mempertanyakan perkataan nabimu!”

Seketika, ada yang bergemuruh dalam hati dan pikiran saya. Jika saya ingin siap menikah, saya harus memperbaiki semuanya. Saya baru menyadari bahwa puasa memang akan menjaga ‘pandangan’ dan ‘kehormatan’ saya, seperti sabda Nabi. Tetapi jika saya menggali nasihat itu lebih dalam lagi, puasa akan menjadi penjaga yang membuat saya menjadi pribadi yang ‘terpandang’ dan ‘terhormat’.

Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu untuk menikah, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, maka hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah penjaga baginya.’ (HR Bukhari-Muslim)

Melbourne, 9 Ramadhan 1436 H
FAHD PAHDEPIE

#30HariMencariCintaNya #SahurKesembilan

Pelajaran penting :)
(Source: fahdpahdepie)

Kamis, 18 Juni 2015

Ramadhan Pertama di Zona Bukan Nyaman


Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allahu Akbar
Allah Maha Besar !!!

Syukur tak terkira terpanjat kepadaNya, Alhamdulilah masih diberi kesempatan tamu agung, bulan berkah Ramadhan. InsyaAllah lebih baik dari sebelumnya, sehingga diri ini tidak termasuk golongan merugi, dan InsyaAllah dapat bertemu kembali dengan bulan Ramadhan selanjutnya. Amin ya Rabb

Alhamdulilah, segala puji bagi Allah, Pencipta Semesta Alam
Tahun ini, Ramadhan spesial.
Ramadhan pertama di tanah rantau (meski bukan pertama sebenarnya)
Ramadhan pertama di zona bukan nyaman, bukan di tanah kelahiran Semarang (meski bukan pertama sebenarnya)
Ramdhan pertama jauh dari keluarga (meski bukan pertama sebenarnya)
ini adalah Ramadhan pertama

InsyaAllah barokah, barokah, barokah, dan segala sesuatunya diterima Allah swt
Amin ya Rabb

Cinta Rasul, Cinta Sang Maha Cinta

rasa cinta yang besar

tausendsunny:
ditulis oleh tere liye. salah satu kisah sahabat Nabi yang selalu membuat mata berkaca-kaca. layak untuk diceritakan, disebarkan pada orang orang tersayang. semoga menjadi pengingat yang baik untuk kita semua :”)
Bisakah seseorang yang tidak pernah bertemu Nabi, tidak pernah bercakap-cakap langsung, termasuk golongan orang yang penting sekali? Bisa. Bahkan, dalam kisah ini, Umar bin Khattab dan Ali, dua sahabat yang tidak perlu diragukan lagi kualitasnya, meminta di doakan dan istigfar dari seseorang ini. Dan Nabi sendiri menyebutnya dengan, ‘Dia bukan orang bumi, dia penghuni langit"
Lantas apa yang telah dilakukannya? Apakah sesuatu yang besar, dahsyat yang telah dilakukannya hingga memperoleh posisi begitu mulia? Apakah dia menyebar ilmu ke seluruh dunia? Panglima perang? Atau berbuat baik dengan berinfaq setinggi gunung emas? Bukan. Tidak sama sekali. Dia mendapat derajat itu hanya karena cinta.
Here we go, akan saya ceritakan kisahnya.
Dia adalah Uwais Al Qarni. Pemuda sederhana yang tinggal di negeri Yaman. Uwais adalah pemuda miskin, pekerjaannya menggembalakan domba, dari upahnya tersebut, dia bisa menafkahi hidup, termasuk membantu tetangga yang juga sama miskinnya. Hidupnya terlalu simpel, terlalu biasa, hingga luput dari perhatian orang banyak, kalau dia punya tugas yang penting. Apa tugasnya? Merawat ibunya yang sudah tua. Tidak bosan, tidak lelah. Merawat ibunya penuh kasih sayang. Pemuda kita ini juga tentu adalah pemuda yang taat beribadah, rajin, dan siang-malam selalu menambatkan pengharapan kepada Allah.
Nah, setiap kali ada rombongan pedagang, atau musafir yang pulang dari Madinah, Uwais selalu datang untuk mendengarkan cerita2 dari mereka. Uwais ingin mendengar cerita tentang Nabi, orang2 yang baru bertemu dengan Nabi. Kabar2 tentang Nabi, dsbgnya. Aduhai, ini juga sebuah rahasia kecil milik Uwais, tidak kepalang rindunya dia ingin bertemu Nabi, cinta sekali dia kepada Rasul Allah. Ibarat ingin melihat kekasih hati, tidak terbilang keinginan itu. Menumpuk tinggi, menjulang cintanya. Pernah ada rombongan yg membawa kabar tentang perang Uhud, bahwa gigi Nabi patah dilempari batu oleh musuh2nya. Sedih sekali Uwais ini, dia mengambil batu, lantas mematahkan giginya sendiri, agar bisa merasakan rasa sakit orang yang amat dia cintai tersebut. Boleh jadi menurut kebanyakan orang itu tindakan ‘gila’, tapi Uwais melakukannya karena cinta Nabi-nya.
Berbilang minggu, bulan dan tahun berlalu, akhirnya kesempatan itu datang. Ibunya yang tua sedang dalam kondisi sehat, dan dia memperoleh ijin dari Ibunya untuk bisa pergi ke Madinah, bertemu dengan Rasul Allah. Pesan Ibunya simpel: segera pulang kalau sudah selesai urusan di Madinah. Maka, setelah menyiapkan keperluan untuk Ibunya, menitipkan Ibunya, Uwais berangkat ke Madinah. Jaman itu, tentu tidak ada pesawat, mobil, dsbgnya. Perjalanan ditempuh susah payah, berhari2 hingga tiba di Madinah.
Sudah semangat sekali Uwais ingin bertemu Nabi, dia segera bertanya di mana rumah Nabi, bergegas menuju rumah Nabi–mungkin berlari pontang panting, tersengal, tapi sayang seribu sayang, Nabi sedang pergi ke medan perang. Aduhai, bagaimanalah ini? Itu situasi yang tentu bagi kebanyakan orang amat mengecewakan, setelah semua kerinduan, setelah semua yang telah dia lakukan. Apakah dia harus menunggu Nabi pulang? Sedangkan Ibunya tertinggal jauh di Yaman, tiada yang merawatnya. Bagaimana ini?
Maka dengan keputusan berat, Uwais memutuskan segera pulang ke Yaman. Itu mungkin momen cinta paling spesial yang pernah ada di muka bumi. Ketika Uwais meluruhkan semua rindu, pulang. Momen cinta yang sungguh, bukanlah momen cinta 'murahan’ seperti hari ini. Uwais cinta kepada Rasul Allah melebihi siapapun di muka bumi, bahkan dirinya sendiri, tapi dia harus pulang merawat Ibunya. Ada skala prioritas, ada logika. Dan mungkin saja, Nabi akan marah kalau dia ngotot bertemu dengan Nabi, tapi mengorbankan Ibunya.
Uwais pulang. Membawa cintanya pulang.
Berselang waktu, Nabi juga pulang dari medan perang, di rumah, dia berkata kepada Aisyah, ada pemuda yang mencarinya saat pergi, pemuda yang taat pada ibunya, pemuda itu penghuni langit. Aisyah dan para sahabat tertegun. Aisyah bilang, itu benar, memang ada pemuda dari Yaman yang datang, tapi bergegas pulang. Rasul Allah menatap Umar dan Ali yang ada di sana, berkata, suatu ketika, jika kalian bertemu dengannya, mintalah doa dan istigfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.
Itu tentu kalimat yang amat menakjubkan, keluar dari Rasul Allah.
Waktu melesat cepat. Rasul Allah sudah wafat, Abu Bakar sudah digantikan Umar sebagai khalifah. Umar dan Ali selalu ingat kalimat Rasul Allah tersebut. Maka setiap kali ada rombongan dari Yaman yang datang, mereka bertanya, apakah ada yang bernama Uwais Al Qarni. Orang2 yang ditanya merasa heran, siapalah si Uwais ini? Bahkan khalifah bertanya soalnya. Tidak terbilang rombongan datang, silih berganti, hingga akhirnya, ada sebuah rombongan yang saat ditanya apakah ada Uwais Al Qarni bersama kalian, dijawab iya.
Itu benar, ada Uwais di sana, Ibu Uwais telah meninggal dunia, dan sekarang Uwais bisa berangkat. Umar dan Ali segera menemui orang yang dimaksud. Orang yang sedang mengurus unta2 rombongan, karena memang dia tetaplah sederhana, bersahaja. Khalifah Umar bertanya, siapa nama kamu–memastikan. Uwais menjawab pendek, Abdullah. Umar mengangguk, bilang, kami juga Abdullah, hamba Allah. Tapi siapakah nama kamu yang sebenarnya. Uwais menyebut namanya. Umar dan Ali juga bisa melihat tanda di Uwais yang diberikan oleh Rasul Allah sebelumnya.
Nah, itu juga momen yang mengharukan milik Uwais, saat Umar dan Ali meminta doa dan istigfar kepadanya. Bagaimana mungkin Khalifah minta didoakan orang biasa sepertinya. Uwais menggeleng, bilang, justeru dialah yang harus meminta doa kepada sahabat2 terbaik Rasul Allah. Umar dan Ali terus mendesak, dan karena itu perintah Rasul Allah, maka Uwais akhirnya mendoakannya. Pertemuan itu ditutup dengan permintaan Uwais yang bilang, hamba mohon, cukup hari ini saja hamba diketahui banyak orang. Biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.
Waktu melesat lagi dengan cepat. Ketika Uwais wafat di negeri Yaman, meski dia adalah fakir, tidak terkenal, tidak dikenal, penguburannya adalah salah-satu yang ramai dikunjungi banyak orang. Orang2 menggali makam, orang2 yang menshalatkan, orang2 yang mengantar, orang2 yang mendoakan–entah siapa orang2 tersebut. Kalimat Rasul Allah benar, Uwais bukan orang bumi, dia adalah penghuni langit, karena rasa cintanya yang besar, rasa cintanya yang luar biasa kepada Rasul Allah dan Ibunya.
Mungkin cerita ini bisa membuat kita semua mendefinisikan ulang mana cinta yang sebenarnya. Semoga begitu.
sumber