Rabu, 31 Agustus 2016

MAMAH

CONVERSATION BETWEEN A MOTHER AND HER SON
islamicthinking:
Mother:
I fought with death when I was giving birth to you. I spent sleepless nights when you were sick and crying. I never ate without feeding you first. I bore so many pains to bring you to the stage that you are in today. How will you repay me my son?

Son:
When I grow up, I will find a good job and earn lots of money for you so you can enjoy the pleasures of this world.

Mother:
Your father is doing this already and I do not expect this from you too. By the time you are earning I will be old and will not be in need of any worldly luxuries.

Son:
I will find a pious lady and marry her so she can cook for you and take care of you.

Mother:
That is not her duty my son and neither should you marry for that reason. It is not compulsory on her to do any service to me, neither do I expect this from her. Your marriage should be for you, a companion and a comfort for you as you go through this journey of life.

Son:
Tell me mother how can I repay you then?

Mother:
(With tears in her eyes) Visit or call me often. A mother only requires this much from you while she is alive. Then when I die give me your shoulder and bury me. Whenever you perform prayers, supplicate for me. Give out in charity for me. Remember your every good deed will benefit me in the hereafter so be good and kind always. Fulfill the rights of Allah SWT and all those around you. The sleepless nights and pains I took to bring you up was not a favour to you but was for my creator. He blessed me with you as a beautiful gift and as a means for me to attain His pleasure. Your every good deed becomes my repayment. Will you do it my son?

Son:
(Cannot speak and has tears in his eyes)

May we all be of those that are a coolness of our parents eyes and a means of their purification.

“Say My Lord be merciful to them as they brought me up in my childhood”
(Surah Al-Israa)


http://www.islamicthinking.info/

Senin, 29 Agustus 2016

Indikator (repost mbak apik)


B : ....tapi aku nyaman gitu sama dia

A : kamu tau ngga ujian perasaan sebenernya adalah ketika orang yang suka sama kamu itu--ternyata juga orang yang kamu suka.

B : ....
A : hmm, ada indikator yang kembali aku ingatkan. Kamu udah tau konsep ini sebenernya
B : Apa?

A : Keseriusan seorang pria bukan dari seringnya dia ngechat atau kasih kabar hingga bikin kamu nyaman. Tapi ukuran keseriusan seorang pria diukur dari saat dia berani bilang "aku boleh kerumahmu untuk ketemu ayahmu?"

B : duh jleb! Ya sih aku setuju. Nyaman tapi ga berani melangkah ke ayah juga percuma. Kalo ayah pilih yang lain, dia mah bisa apa.

A : So, kalo dia berani ketemu ayahmu--berarti dia serius kalo dia cuman bilang udah makan belum, udah tidur belum, jaga kesehatan, anak alay yang pengangguran bisa lebih dari hanya sekedar itu

B : iya, ampun :"""

A : hari gini cari yang serius dong. 2016 no drama katanya? Jangan ikutan alay! Urusin negara aja sana daripada urusin beginian. Masih banyak yang harus dipikirin, laaay!

B : iyee iyeeeeeee -_-

Kamis, 25 Agustus 2016

Re-blog : Pernikahan yang Akrab

tulisansusi

avinaninasia:
jamikanasa:
Tulisan ini adalah karya Bapak Zaim Uchrowi yang saya temukan di blog beliau pagi ini. Bagi saya tulisan ini cukup membuat pagi saya ‘bangun’ dan tersadar: mengapa tak menjadi yang sederhana saja?
Zaim Uchrowi
Republika, 17 Maret 2007
Baru-baru ini saya menghadiri pernikahan seorang kerabat. Pesta pernikahan itu biasa saja. Bukan di gedung besar. Bukan pula penuh pernak-pernik yang membuatnya megah. Sebaliknya, perhelatan itu justru dilakukan di rumah. Cukuplah tenda terpasang di halaman serta jalan buntu di depannya. Sebuah tenda biasa, dan bukan tenda paling megah, Makanan ditempatkan di meja sederhana bertaplak putih di garasi rumah itu. Jumlah undangannya tidak banyak. Hanya kerabat dekat dan sahabat kedua mempelai yang hadir. Pembawa acara serta pembaca doa kerabat sendiri.
Musik dimainkan oleh teman-teman pengantin. Tidak ada beragam upacara adat yang rumit yang mengiringi pernikahan itu. Pakaian serta tata rias pengantin juga biasa saja. Cuma sedikit lebih formal dibanding pada hari biasanya, namun cukup anggun untuk dipandang sebagai gambaran pernikahan. Sekali lagi, tak tampak hal luar biasa dari acara perbnikahan itu. Tetapi, saya merasa sangat nyaman berada di sana. Ada suasana yang jarang saya peroleh dari menghadiri kebanyakan pesta pernikahan pada acara tersebut. Saya merasa, suasana pernikahan itu sangat akrab.
Pembawa acara dengan sangat ringan menyapa, bahkan berseloroh, pada tamu-tamunya. Hal itu wajar karena memang ia mengenalnya persis. Antarkawan juga bisa saling dorong untuk menyanyi, atau memainkan musik. Para tamu juga saling sapa, hingga berbincang akrab. Pengantin juga tak harus terus-menerus berdiri tegak di tempatnya dengan terus-menerus memasang senyum anggun, menunggu diberi ucapan selamat. Sesekali, mereka seperti ‘menjemput bola’, berjalan (kadang bersama, kadang sendiri-sendiri) mendatangi tamu, bertukar kata secara ringan.
Suasana pernikahan demikian sungguh berbeda dengan pesta pernikahan yang kini lazim. Tapi, suasana itu justru mampu mengingatkan: apa makna pesta pernikahan? Kita acap merancang pesta pernikahan seagung dan semegah mungkin. Alasan kita, itu hari yang benar-benar istimewa. Lalu, kita merancang segalanya agar sempurna. Mulai dari bentuk undangan, atribut kenang-kenangan, seragam pakaian, tempat pelaminan, makanan, hiburan, dan sejuta pernak-pernik lainya.
Begitu banyak yang harus diurus, dan begitu banyak yang ingin mengurus agar benar-benar sempurna. Hasilnya, seringkali pesta pernikahan justru menjadi ajang ketegangan keluarga. Alih-alih melahirkan suasana yang hangat, pesta pernikahan banyak yang kemudian menjadi sekadar formalitas. Pesta pernikahan kita acap bergeser fungsi dari acara bersyukur dan memohon doa menjadi ajang pamer gengsi dan atribut diri. Banyak tamu hadir dengan perasaan terpaksa. Tak enak tidak datang karena sudah diundang. Jika demikian, doa restu apa yang dapat kita harapkan?
Kesederhanaan dalam pernikahan hari itu menyeret saya pada pertanyaan yang dalam. Apa ya sulitnya berpikir dan bersikap sederhana seperti itu? Jangan-jangan kerumitan kita dalam menggelar pesta perkawinan adalah refleksi dari kerumitan cara berpikir dan bersikap secara menyeluruh. Kita lebih mementingkan atribut ketimbang makna. Kita memenangkan formalitas dibanding otentitas dan spontanitas. Kita mengedepankan gengsi ketimbang esensi. Pantas jika bangsa kita masih jauh dari efektif. Banyak program pembangunan kita buat, anggarannya pun dahsyat, dan kita menganggapnya hebat, namun kenyataannya kondisi rakyat masih jalan di tempat.
Banyak kerja ilmiah kita lakukan, namun dunia ilmu masih saja di ‘situ-situ’. Banyak dakwah dan ceramah dilakukan, tapi maksiat –termasuk korupsi– masih saja ramai berjalan. Semua itu tampaknya berpangkal pada kita yang tidak lagi mampu berpikir dan bersikap sederhana. Akibatnya kita makin terkendalikan atribut, dan terjauhkan dari makna. Itu yang makin mengasingkan kita (termasuk sebagai bangsa) dari kehidupan yang berkah. Pernikahan sederhana yang akrab di siang itu mengingatkan saya pada kesalahan besar kita selama ini.
Setelah badai disertasi sudah tidak terlalu mengganggu, saya ingin cerita tentang persiapan teknis pernikahan saya yang hanya membutuhkan waktu 2.5 bulan saja. Hahaha.
Special thanks to adek @valinakhiarinnisa yang jadi korlap acara, pengisi acara, sekaligus menjadi sosok yang paling tenang saat masa persiapan pernikahan saya. saya berhutang budi padamu, dek. ^^
Apa sekarang aku sedang dipuncak “Memikirkan yang berlebihan”? Sedang esensi, ketar-ketir menghidar. Hohoho

Jika kelak aku . . . (repost)

Jika kelak aku menikah dengan yang sebaya, aku ingin melukis kisah semisal ‘Ali dan Fathimatuzzahra. Keduanya, saling mencintai karena iman. Fathimah yang sabar walau suami pulang tanpa membawa harta, juga Ali yang tetap bertanggung jawab meski harus bekerja sebagai kuli dengan gaji segenggam kurma. Ah, indahnya…
.
Jika kelak aku menikah dengan yang lebih muda, aku ingin memahat cerita seperti Usman bin ‘Affan dan Naila as-Syam. Keduanya, tetap menyayangi walau yang satu telah beruban dan yang satu lagi berumur belasan. Duhai, sebaik-baik guru adalah suami yang shaleh. Maka Naila belajar pada Usman yang lebih dewasa. Belajar untuk semakin menshalehahkan diri, hingga, ia merelakan jemarinya putus karena menahan pedang musuh yang hendak membunuh suaminya. Dan seba'da Usman wafat, konon, Naila mencakar wajah cantiknya agar tak ada seorang pun yang mau melamarnya. Ia amat mencintai kekasih jiwanya.
.
Jika kelak aku menikah dengan yang lebih tua, aku ingin mengukir cinta laksana Rasulillah dan Khadijah al-Kubra. Keduanya, saling mengasihi sekaligus menebar cinta pada sesama. Khadijah adalah sebaik-baik istri, ia senantiasa menenangkan seperti seorang ibu, ia selalu menemani seolah sahabat sejati, ia mengorbankan harta benda demi dakwah sang suami. Dan sungguh hanya Khadijah-lah, cinta pertama yang tak pernah dimadu oleh sang Rasul.
.
Di atas pernikahan, umur tak lagi jadi soalan. Sebab nikah adalah proses pendewasaan diri, proses perbaikan diri, dan proses menshalehakan diri. Sesekali, jadikan pasangan kita sebagai guru, kita hormat padanya. Sesekali, jadikan pasangan kita sebagai sahabat, kita tertawa bersamanya. Sesekali, jadikan pasangan kita sebagai adik, kita manjakan ia sepenuhnya.
.
Sekali lagi setelah menikah, yang terpenting bukan tentang usia berapa, tapi tentang perjalanan seperti apa. Dan pastikan, perjalanan rumah tangga kita seperti pelangi, banyak warna yang menaungi.

Aby A Izzudin
Sumber : Uni @MaghlebElmir

Re-share : Masya Allah, supir Angkot Barokah

choqi

Saya dapat cerita ini dari WA nya @likalulu .

Dan kisah cerita ini sungguh luar biasa, menjadi pengingat bagi teman-teman yang selalu bekerja habis-habisan.
—–

CERITA DARI TEMAN DI BANDUNG “Masya Allah, Supir Angkot Barokah”

Sore kemarin ada yang menarik terjadi. Saya naik angkot Riung Bandung dari simpang dago. Karena kursi di depan kosong, jadilah saya pilih duduk di depan, di sebelah pak sopir. Awalnya gak ada interaksi positif yang terjadi, sampai akhirnya mobil sampailah di sekitar gedung sate.
(Aslinya obrolan pakai bahasa Sunda, tapi saya terjemahkan dan rangkum biar lebih ringkas…obrolan terjadi hampir selama dua jam.)
“Mau turun di mana?”, tanyanya pada saya. “Riung, pak”. “Neng, Bu, turun di mana?”, tanyanya pada penumpang lainnya. “Kiara condong.”. Tidak ada yang aneh saya rasa dengan pertanyaan itu.
Pas di depan Pusdai, angkot tidak belok kanan ke jalan Citarum tapi lurus ke Supratman, jalan lebih pendek tapi konsekuensi gak bisa dapat muatan. Jadilah saya bertanya, “Mau langsung pulang pak?”. “Enggak, saya ngepasin waktu, mau shalat Maghrib. Kalau hanya sampai Kiara condong rasa-rasanya masih cukup.”, Jleb…cukup menohok jawabannya.
(Komentar saya gak dimasukkan, soalnya gak penting nambah nilai obrolan ini…)
“Kalau udah biasa shalat apalagi berjamaah mah rasanya ada beban kalau udah masuk waktu shalat masih di jalan. Saya mah kalau masuk waktu shalat insya Allah mengusahakan buat berhenti dulu. Terutama Maghrib yang waktunya pendek. Ya, sebelumnya minta maaf dulu sama seluruh penumpang yang saya turunkan di jalan. Semua penumpang gak akan saya tarik bayaran, bayarnya ke angkot selanjutnya saja.”
“Gak perlu rasanya terlalu semangat mencari uang, sampai mengorbankan kewajiban utama kita. Cari nafkah itu wajib, tapi shalat lebih wajib. Yang penting itu bawa rejeki yang barokah. Bawa 100 ribu atau 10 ribu asal barokah mah insyaallah bermanfaat. Allah itu gak akan marah kalau kita mati gak punya mobil atau gak punya rumah. Tapi Allah akan marah kalau kita mati gak punya iman. Bahkan Rasulullah pun pernah berdoa supaya dimatikan dalam keadaan miskin supaya hisabnya ringan.”
Tak lama sampailah kami di Kiara condong, semua sudah turun kecuali saya. “Maaf atuh mas, cuma bisa ngantar sampai Kiara condong.”. “Sekalian saya juga mau shalat kok pak, bareng aja.”. Lalu kami shalat di pom bensin terdekat. Setelah shalat, saya dibelikan kopi di tukang rokok langganannya di pinggir rel. Lanjutlah kami mengobrol.
“Saya mah bawa mobil ini mah anggap aja sebagai jembatan shirotol mustaqim, yang akan melalukan saya ke kehidupan selanjutnya. Saya juga ingin supaya mobil ini jadi saksi kalau saya ini banyak beribadah. Mobil ini sudah sering berhenti di banyak masjid. Saya pernah sebelumnya punya banyak mobil, ada yang angkot ada yang mobil biasa. Tapi ya kok gak bikin saya tenang, soalnya waktu itu mobil-mobil itu berhubungan dengan riba. Akhirnya saya lepas semuanya. Mendingan satu ini aja tapi bebas dari riba.”
“Saya mah kalau di jalan, pas mobil kosong ya biasa aja, gak jadi kesel kalau mobil teman penuh. Lha kan kita juga pernah merasakan angkotnya penuh. Kadang teman-teman suka ada yang kesal kalau mobilnya kosong sedangkan yang lain penuh. Padahal kalau gitu berarti kita punya penyakit hati. Saya mah selalu minta sama Allah supaya dijauhkan dari penyakit hati seperti itu.”
“Pas kita nanti mati mah yang dibawa kan cuma harta yang dibelanjakan di jalan Allah, ilmu yang diamalkan dan diajarkan dan anak Sholeh yang mendoakan. Tapi ingat, kalau mau punya anak shaleh, orang tuanya harus shaleh dulu. Apa yang dilakukan anak itu bisa jadi cerminan perilaku kita.”
“Kita itu harus banyak beramal, supaya umur kita panjang. Bukan berarti umur tubuh kita, tapi umur dari kebaikan yang kita lakukan yang terus akan memberi manfaat dan diingat oleh orang yang ditinggalkan.”
Terus kami mengobrol sampai akhirnya sampailah kami di Riung Bandung. Ah rasanya masih kurang lama saya menimba ilmu dari beliau. Mudah-mudahan perjalanan bapak setiap hari dari Riung ke Dago menjadi perjalanan ibadah dan dakwah. Dan ilmu yang disampaikan terus memberikan manfaat buat semuanya…

*sebab ilmu kehidupan terserak di manapun dan dari siapapun, maka teruslah belajar.

Jika suatu saat nanti kau jadi ibu (repost)

Rin

*oleh Humamuddin, hafidz 30juz kebanggaan FK UNS*
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu…
Jadilah seperti Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan kepercayaan diri dan mengembangkan potensi anaknya.
Saat itu sang anak masih remaja. Usianya baru 13 tahun. Ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar. Rasulullah tidak mengabulkan keinginan remaja itu. Ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih. Namun sang ibu mampu meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain.
Tak lama kemudian ia diterima Rasulullah karena kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Al Qur’an. Beberapa tahun berikutnya, ia terkenal sebagai sekretaris wahyu. Dan namanya akrab di telinga kita hingga kini, dialah Zaid bin Tsabit.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu…
Jadilah seperti Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah mampu membentuk karakter anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan mencintai ilmu. kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab. Ia tidak lain adalah Imam Ahmad.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu…
Jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya, seperti Ummu Habibah. Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya. Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya:
“Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam..! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu, oleh karena itu aku bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya. Peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, aamiin..!”.
Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak akrab dengan nama aslinya, tapi kita pasti mengenal nama besarnya: Imam Syafi'i.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu…
Jadilah ibu yang menyemangati anaknya untuk menggapai cita-cita, seperti ibunya Abdurrahman. Sejak kecil ia menanamkan cita-cita ke dalam dada anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, dan ia pula yang menyemangati anaknya untuk mencapai cita-cita itu.
“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, kamu adalah Imam Masjidil Haram…”, katanya memotivasi sang anak.
“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, kamu adalah imam masjidil haram…”, sang ibu tak bosan-bosannya mengingatkan.
Hingga akhirnya Abdurrahman benar-benar menjadi imam Masjidil Haram dan ulama dunia yang disegani. Dan murattalnya kita sering dengar dan diputar di Indonesia, dialah Syaikh Abdurrahman As-Sudais.
Jika suatu saat nanti kau jadi ibu…
Jadilah orang yang pertama kali yakin dan menanamkan keyakinan akan kesuksesan, seperti ibunya zewail kecil yang menulis “Kamar DR. Zewail” di pintu kamar anaknya.
Ia menanamkan kesadaran sekaligus kepercayaan diri, diikuti keterampilan mendidik dan membesarkan buah hati, jadilah Ahmad Zewail seorang doktor Muslim terkemuka di dunia, penerima Nobel bidang Kimia tahun 1999.
Mereka… Orang-orang hebat itu, tidak dididik kecuali oleh Ibu yang luar biasa. Baarokallahu Fiikum.

*insyaAllah catatan untuk diri ini untuk anak-anak saya (kelak). Aamiin ya Rabb

Konsep Rumah Ideal dari sisi Islam (repost)

as-tri

“Having somewhere to go is a home. Having someone to love is a family. Having both is a blessing.” - ideA Edisi 151

Mendengar kata ‘rumah’, kira-kira apa yang lantas terlintas di benak kita? Keluarga? Orang terkasih? Gaya vintage? Modern minimalist? Dekat dengan Stasiun/Bandara kah? Mepet Sawah? Atau bahkan penantian KPR murah?

Sewaktu kecil, definisi rumah begitu sederhana digambarkan. Hanya paduan dari persegi + segitiga, atau persegi panjang + trapesium, yang lalu dibubuhi dua jendela di bagian kanan kiri, plus satu pintu. That’s enough. 
Sayang, semakin kita tumbuh, rumah besar sekalipun seringnya menjadi terasa sesak. Sempit dengan perabotan yang juga makin bertambah. Penghuni di dalamnya pun perlahan pergi dengan berbagai alasan. Tapi, akhirnya di satu waktu, ada saatnya datang kembali.
Tak salah-salah amat, kutipan populer bilang, rumah adalah tempat dimana hati berada. Sebab, begitu adanya.
Pagi ini ada yang begitu menarik. Kuliah subuh melalui layar kaca dari Ust. Maulana, membahas seputaran Konsep Rumah Ideal dari sisi Islam. Sesuatu yang di mata kita sebagai manusia seringnya luput. Karena, kita lagi dan lagi hanya disibukkan dengan persepsi berbau dunia saja. Maka, acara berdurasi satu setengah jam tersebut, cukup menjadi angin segar yang me-energized jiwa yang haus akan ilmu.
Kalau dulu saya kira, perkara rumah, hanya sebatas syarat utama, dekat atau tidak dengan Mesjid. Ternyata lebih dari itu semua. Hingga peretelannya pun sudah ada acuan yang, tidak bisa kita hindari. Berikut beberapa poin yang saya ingat dan langsung dicatat di akhir.
  • Rumah tidak boleh berisi hal-hal musyrik. Sewaktu kecil, saya ingat betul di buffet TV tepatnya di ruang keluarga kami. ada beberapa pajangan keramik yang berbentuk hewan yang di agama ini diharamkan. Ada juga botol unik bekas minuman keras yang isi didalamnya Mama saya ganti dengan teh. Sejak duduk di bangku SMP, jika saya tidak salah mengingat, semua itu sudah disingkirkan oleh kedua orangtua saya. Alhamdulillah, penjelasan Ust. Maulana kali ini juga telah saya dapati lebih awal dari orangtua. Sama percis. 
  • Rumah juga tidak boleh mengandung unsur-unsur makhluk bernafas. Kemudian, bagaimana dengan figura foto keluarga? Memang masalah satu ini, takutnya mengarah sama seperti musyrik, menjadi sesuatu yang disembah. Tapi ya, foto selama pajangan, kalau saya tangkap dari bahasan tadi, tidak apa-apa.
  • Kamar anak perempuan dan laki-laki wajib dipisah. Tidak perlu menunggu mereka besar atau sudah baligh, sejak dini pun akan lebih baik. Kalau tadi Ust. Maulana menyebutkan di usia 7 tahun.
  • Tidak boleh ruang tamu atau bagian rumah langsung terlihat dari luar. Makanya, salah satu untuk menyamarkannya ya pakai tirai yang lazim kita jumpai di setiap rumah.
  • Tempat wudhu tidak menyatu dengan kamar mandi. Karena ternyata, hukumnya makruh. Nah yang satu ini betul-betul jadi PR, karena di rumah kami sekarang, untuk berwudhu memang dilakukan di kamar mandi, hiks.
  • Toilet tidak boleh menghadap atau membelakangi kiblat. Jadi, kalau bingung bagian satu ini. Begini ilustrasinya, bagian kloset itu baiknya ada di sisi kanan Kiblat. Di rumah saya, kamar mandi membelakangi kiblat, tapi ketika merujuk ke bagian kloset, Alhamdulillah posisinya ada di sisi kanan Kiblat.
  • Masih di masalah kamar mandi. Baiknya, kamar mandi disatukan dengan ruang ganti pakaian. 
  • Rumah harus juga jadi tempat belajar yang nyaman, misalnya di ruang tengah.
  • Ketika ada tamu datang, dan di rumah tidak tersedia kamar khusus tamu. Baiknya yang digunakan itu kamar anak. Kamar utama, kamar suami istri, tidak boleh. 
Bagian yang masih gak kalah mengiang di benak saya, ketika Ust. Syam bicara begini, “Kalau misal Rasulullah datang ke rumah, apa yang ingin kita perlihatkan? Apa yang ingin kita katakan?”
Maka, beliau mengingatkan sekali lagi, untuk tidak mencari kemewahan dalam rumah. Juga, jangan jadikan alasan ‘Itu kan zaman dahulu’ sebagai bahan pembenaran.
“Jangan beli rumahnya. Beli lingkungannya yang baik, lihat tetangga. Ada di akhirat, manusia ditusuk hidungnya karena masak enak tapi tetangga tidak dikasih,” pesan Ust. Maulana.
Kalau kata Okky Setiana Dewi, rumah yang paling baik bukan rumah yang sering memutar ayat Al-Qur’an, bukan juga yang banyak dipajang lafal Qur’an. “Tapi Al-Qur’an yang dilisankan oleh anggota keluarga, Ayah, Ibu, Anak, semuanya tunduk, itu sebaiknya rumah,” kata dia. Tapi juga kata Ust. Syam, semegah apapun rumah asal bisa mempertanggungjawabkannya kelak.

“Kebahagian rumah itu sesungguhnya ada di istri yang tersenyum, anak tertawa, dan suami tidur nyenyak,” - Ustad Maulana, 2016.


* catatan untuk diri sendiri dan keluarga kecilku (kelak)

Muda, Kaya, dan Berbahaya (repost)

as-tri

. . .

Kemudian saya teringat tulisan Ayu Utami, di buku Parasit Lajang entah eks Parasit Lajang. Dimana wanita Jepang di atas umur 21 tahun telah hidup mandiri. Mereka yang berpenghasilan dan masih bersama orangtua, itulah parasit. Intinya kurang lebih seperti itu.

Saya juga ingat, Ustad Salim A Fillah pun mengatakan, wanita masih tetap menjadi tanggungan ayahnya selama belum menikah. “Berbeda dengan laki-laki atau ikhwan, sejak baligh itu tidak lagi jadi tanggungan orangtua. Makanya saya sejak SMA sudah tidak meminta uang jajan, tapi kalau dikasih ya diterima saja, karena menerima artinya menyenangkan orangtua,”.

Jadi salah siapa? Salah industri raksasa yang menjadikan generasi ini makin hedon? Atau salah pergaulan alias lingkungan yang mendorong ke gaya hidup gemilang ini? Atau malah, diri sendiri yang tak bisa membatasi?

Kita tidak pernah tahu. Sebab ada banyak yang harus ditilik. Sederhana saja, bagi saya, keurbanan tersebut adalah simbol belum matangnya sosok.

*mengingatkan pada diri sendiri, hidup mandiri. bukan karena kata orang ini itu, bukan karena pandangan orang ini itu, tapi untuk diri sendiri dan keluarga. parasit dan sebutan lainnya hanya akan selesai di ujung lidah orang lain, dan kenyataanya hidup kita akan (harus) tetap berjalan. hiduplah mandiri untuk masa depanmu terkhusus orang tuamu.

Selasa, 09 Agustus 2016

Saatnya . . .

Post kali ini saya repost lagi, terimakasih untuk tulisannya ghea :)
sangat menginspirasi, semoga selalu menulis yaa


saya beranikan untuk bertanya "Kenapa tiba-tiba memilih ghea dan apa yang menjadi pertimbangannya", pertanyaan saya dijawab dengan begitu detail tentang alasan kenapa dia memilih Ghea. Mulai dari jawaban yang serius sampai yang melucu. Dia juga menyangkal bahwa ini semua tiba-tiba, katanya sebenernya sudah lama tapi memang mau ngomong ketika udah siap aja, karena tujuan bukan mau ngajakin pacaran, tapi untuk konteks yang lebih serius. Dia juga mengatakan bahwa sudah kepoin Ghea secara online dan offline. Salah satu pertimbangan utamanya adalah sebelum memutuskan untuk mengubungi saya, dia sudah istikhoroh terlebih dahulu dengan beberapa cara termasuk istikhoroh alquran, lalu yang didapat adalah ayat tentang menikah. Waktu diberi tau ayat tersebut saya kaget tapi sembari ngomong sama diri sendiri 'ah kebetulan kali ya.. iya kebetulan...'. Karena waktu itu posisinya saya masih belum mengkosongkan perasaan. Tapi saya salut banget sama proses yang dipilihnya sebelum menghubungi Ghea. Hey, i was melt. Gitu ya, cowok yang pakek cara gentle (sekalinya muncul emang orientasinya jelas), lebih bikin galaau kebingungan kudu ngapain.


.....


Jadi ati-ati buat siapapun yang lagi deket sama seseorang, di jaga hatinya. Jangan sampe ngerasain sakit yang sebenernya kita sendiri yang nyiptain kondisi itu. Saya baru menyadari alasan Allah nggak ngizinin hubungan kedekatan sebelum halal, ya ini nih. Ketika emang takdir kita orang lain, kita bikin rasa sakit buat diri kita sendiri. Sebenernya saya ragu buat share, takut terlalu pribadi. Tapi proses ini justru pelajaran beraharga banget buat saya, biar orang lain cukup bisa bayangin dengan baca ceritanya tanpa harus ngerasain sendiri. Saya yakin ada begitu banyak orang di luar sana yang sering mengaku nggak pacaran, tidak bersetatus, tapi dekat secara rutin dan membiasakan ada.


......


Saya cobain berbagai metode, termasuk metode al-quran seperti yang dilakukan mas hanif. FYI setiap orang punya caranya masing-masing, dan ini cara yang diajarkan oleh beberapa guru saya. Jadi awalnya kita sholat, terus berdoa gitu dan intinya di doa itu kita minta petunjuk ke Allah, bahwa kita itu maha nggak tau dan Allah maha tau segala, lalu kita sebutin hal apa yang mau kita cari jawabannya, waktu itu saya minta petunjuk tentang saya dan mas Hanif, kalo kita bersama, bagus apa engga buat agama saya, kehidupan saya.. dll dll (...pribadi men jadi ga di ceritain detail lah ahaha), terus setelah selesai berdoa, kita buka halaman quran secara random, lalu buka lagi 7 lembar setelahnya, dan kita lihat ayat ke 7 artinya apa. Kalo artinya yang baik-baik misalnya nih tentang syurga, kenikmatan, kemenangan, dkk insyaAllah itu jawabannya baik. Tapi kalo tentang neraka, perang, kegagalan, dkk bisa jadi itu kurang baik.


.....


Sebenarnya hakikat utama istikhoroh adalah diberinya keyakinan. Dan istikhorohpun jangan cuma sekali aja, sejak kejadian itu, pas banget waktu pengajian di jelasin kalo kita harus istikhoroh sesering mungkin, setiap hari. Salah satu caranya dengan niatin sholat istikhoroh sekalian waktu kita sholat sunnah rawatib jadi niatnya di gabungin jadi satu "Usholli sunnatan badiatal duhri, wa taubati, wa istikhorohi lillahitaala", bisa ditambahin sama niat lainnya. Kenapa harus istikhoroh terus? Biar semua hal yang kita lakuin dibantuin Allah dalam pemilihannya. Pelan-pelan nggak tau datengnya dari mana saya dapetin yang namanya keyakinan itu. Tiba-tiba saya ngerasa kalo 'mungkin mas hanif orangnya'. Ada keyakinan dibalik ketidak tahuanku tentang sosok seperti apa dia. Saya bahkan nggak tau apakah dia bisa sebaik orang sebelumnya dalam mengatasi hal-hal menyebalkan dari saya. Karena kita kan belum kenal, dan.... saya mah kalo PMS bisa berubah jadi nye-be-lin akut. Saya nggak tau apapun, tapi keyakinan itu semakin tumbuh dengan sendirinya. Diikuti dengan segala hal yang berasa jadi mudah. Berasa semesta tiba-tiba merestui.

......

Saya belajar banyak dari dua bulan awal kejadian ini terjadi. Kalo kadang manusia itu yang terlalu banyak berulah dan bikin hal-hal pemicu sakit hatinya sendiri. Saya sedih banget karena harus bikin keputusan yang mau nggak mau harus nyakitin pihak lain. Sering tetiba mikir, kalo aja dulu bisa membatasi, bener-bener lurus dan nggak balesin semua chat mungkin nggak berakhir jadi nyakitin orang lain dan diri sendiri. Tapi biar, nggak ada yang harus disesalin apalagi berandai balikin waktu kalo udah kejadian, tapi mikirin gimana bisa ambil ibrah dari apa yang udah terjadi.

Wihi, i already tell you a lot of story, its getting long, so i need to stop it now. Sebenernya sempat ragu banget harus ceritain begini apa engga, rasanya kok terlalu pribadi, tapi kalo disimpan sendiri ada beberapa pengalaman yang mau saya share biar tanpa harus ngerasain jadi saya orang bisa kebayang rasanya. Bahwa yang udah pacaran atau temen deketan lama itu belum tentu jodoh. Nggak usah kebanyakan bayangin dan ngobrolin hal-hal seputar masa depan bareng biar nggak sakit hati kemudian. Kan sering tuh, kalo udah ngerasa deket sama si A, pas nemu artikel tentang parenting misalnya, kemudian shre linknya dan di bahas bareng. Ketauilah bawa katanya cowok jadi ngerasa lebih special ketika diajakin ngobrol gitu (pengakuan beberapa sahabat saya). Jadi mari jaga hati sembari menunggu yang pas.

Buat mbak-mbak, ukhti ukhti, teteh teteh mending masa muda buat fokus bikin diri jadi punya value lebih dengan memperbanyak belajar apapun, termasuk belajar pelajaran pra-nikah (penting loh jangan ketawa haha kalo di Malang bisalah chat saya ntar saya ajakin ciyee), mulai belajar ilmu parenting, ilmu general, dan beragam hal lainnya. Kalo udah kepikiran jodoh langsung deh alihin ke hal-hal positif. InsyaAllah nanti pasti dateng kok 'laki-laki' yang emang serius

Buat yang laki-laki, juga jangan sampe ngajak deket cewek kalo belum punya orientasi yang jelas. Kadang emang ngerasa 'ah kan cuma chat', tapi kalo udah nyaman? Jadi ketergantungan deh. Fokus aja menyiapkan diri dan masa depan, baru deh samperin orang tuanya. Saya sebagai cewek lebih melt ternyata sama yang begitu, yang langsung-langsung.

Tidak ada kisah sedih, sakit, dan perih yang sia-sia. Semua pasti berhikmah, semua telah diukur, dan tentunya semua pasti berlalu! Ngomongnya udah berasa pro banget, haha. Namanya juga blog pribadi, yang ditulis pun sudut pandang pribadi berdasarkan pengalaman pribadi. Semoga ada manfaatnya yah, udah yuk jaga jarak sebelum halal.


#
Goodbyes are always hard. Whether it is your favorite childhood skirt, favorite toys, last bites of carrot cakes, favorite class in vocational high school, every single corner of the cafe you ever visited, your old friends that will be spreated with distance, or even a last chat

Goodbyes,
Are always hard.
But, with bismillah, lets welcoming the new chapter of life.

Jumat, 05 Agustus 2016

'PUTIH'

Kemarin secara tidak sengaja ditunjukkan sekaligus diperdengarkan oleh teman lagu Putih karya Efek Rumah Kaca dari album Sinestesia.
Ya, teman saya memperlihatkan lagu tersebut dari kanal Youtube dan isi videonya dalam bentuk komikalisasi, berikut link-nya (https://www.youtube.com/watch?v=5d6FUSnxFAY)



 
Dan menurut saya, luar biasa bagus. Masya Allah.
Sarat makna, sarat hikmah, sarat pelajaran hidup.
Silakan melihat videonya, memahami liriknya, dan mendengarkan alunan lagunya.

ERK
Putih adalah lagu tentang keluarga, gabungan dari dua lagu tentang “Tiada” dan “Ada.” Ide tentang “Tiada” didapatkan dari hasil obrolan dengan seorang teman yang bernama Adi Amir Zainun, yang pada akhirnya pergi meninggalkan kami menuju kekekalan sebelum lagu ini selesai dikerjakan. Sedangkan, ide tentang “Ada” bermula dari kebahagiaan akan lahirnya anak-anak kami, penerus penerus kami, harapan-harapan kami. Lagu ini kami dedikasikan untuk mereka.

Dari musik, kami mendapatkan banyak pelajaran untuk menjadi lebih baik. Salah satu bentuknya adalah dengan membangun keluarga yang hangat dan saling mendukung. Ini terlihat dari anggota keluarga inti dan keluarga dekat personel ERK (dan Pandai Besi) terlibat hangat dan cair dalam proses bermusik kami. Mereka yang dekat, anak-anak kami, istri, dan pacar serta kerabat lainnya bahkan adakalanya lebih penting dari bermusik itu sendiri, dan bisa memperkaya musikalitas kami. Seperti ketika kami harus vakum beberapa saat karena Cholil harus menemani keluarganya untuk menuntut ilmu. Bahkan mungkin saja di kemudian hari kami harus rehat lagi demi keluarga.

PUTIH

Tiada (untuk Adi Amir Zainun)
Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulan,
Dengar, pembicaraan tentang pemakaman
Dan takdirku menjelang
Sirene berlarian bersahut-sahutan
Tegang, membuka jalan menuju tuhan
Akhirnya aku habis juga

Saat berkunjung ke rumah,
Menengok ke kamar ke ruang tengah
Hangat, menghirup bau masakan kesukaan
Dan tahlilan dimulai
Doa bertaburan terkadang tangis terdengar
Akupun ikut tersedu sedan
Akhirnya aku usai juga
Oh, kini aku lengkap sudah

Dan kematian, keniscayaan
Di persimpangan, atau kerongkongan
Tiba tiba datang, atau dinantikan
Dan kematian, kesempurnaan
Dan kematian hanya perpindahan
Dan kematian , awal kekekalan
Karena kematian untuk kehidupan tanpa kematian

Ada (Untuk Angan Senja, Rintik Rindu dan semua harapan di masa depan)
Lalu pecah tangis bayi Seperti kata Wiji
Disebar biji biji
Disemai menjadi api

Selamat datang di samudra.
Ombak ombak menerpa
Rekah rekah dan berkahlah
Dalam dirinya, terhimpun alam raya semesta
Dalam jiwanya, berkumpul hangat surga neraka

Hingga kan datang pertanyaan
Segala apa yang dirasakan
Tentang kebahagian
Air mata bercucuran

Hingga kan datang ketakutan
Menjaga keterusterangan
Dalam lapar dan kenyang
Dalam gelap dan benderang

Tentang akal dan hati
Rahasianya yang penuh teka teki
Tentang nalar dan iman
Segala pertanyaan tak kunjung terpecahkan
Dan tentang kebenaran
Juga kejujuran
Tak kan mati kekeringan
Esok kan bermekaran


Berkaitan dengan lagu dan lirik PUTIH, saya akan sedikit mencuplik hadist shahih tentang mengingat mati.

Hadits “Suka Berjumpa dengan Allah

Dalam hadits dari ‘Aisyah disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Barangsiapa suka berjumpa dengan Allah, Allah juga mencintai perjumpaan dengannya. Sebaliknya barangsiapa membenci perjumpaan dengan Allah, Allah juga membenci perjumpaan dengannya.” Kontan ‘Aisyah berkata, “Apakah yang dimaksud benci akan kematian, wahai Nabi Allah? Tentu kami semua takut akan kematian.” Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam– lantas bersabda, “Bukan begitu maksudnya. Namun maksud yang benar, seorang mukmin jika diberi kabar gembira dengan rahmat, keridhoan serta surga-Nya, ia suka bertemu Allah, maka Allah pun suka berjumpa dengan-Nya. Sedangkan orang kafir, jika diberi kabar dengan siksa dan murka Allah, ia pun khawatir berjumpa dengan Allah, lantas Allah pun tidak suka berjumpa dengan-Nya.” (HR. Muslim no. 2685).
(Sumber: https://rumaysho.com/3388-cinta-dunia-dan-takut-mati.html)

Kematian, kata yang sangat amat ditakuti oleh manusia saat begitu dekat waktunya, yaitu saat sakaratul maut dan atau keadaan koma. Wajar. Manusiawi. 
Lalu apa yang selanjutnya kita lakukan? Itulah yang harusnya direnungkan.

Tabungan amal apa saja yang telah kita persiapkan untuk kematian?
Seberapa banyak tabungan amal baik kita menjemput kematian?
Dan banyak lagi.

Intinya, mengingat mati adalah wajib hukumnya.
Dan mempersiapkan amal terbaik adalah jawaban dari semuanya.
Saya yakin juga, tiap masing-masing manusia tahu bagaimana caranya.
Selamat berjuang mengumpulkan tabungan amal terbaik untuk kematian kelak.


Sumber lain:
https://muslim.or.id/5598-ingat-mati.html