Kamis, 25 Agustus 2016

Re-blog : Pernikahan yang Akrab

tulisansusi

avinaninasia:
jamikanasa:
Tulisan ini adalah karya Bapak Zaim Uchrowi yang saya temukan di blog beliau pagi ini. Bagi saya tulisan ini cukup membuat pagi saya ‘bangun’ dan tersadar: mengapa tak menjadi yang sederhana saja?
Zaim Uchrowi
Republika, 17 Maret 2007
Baru-baru ini saya menghadiri pernikahan seorang kerabat. Pesta pernikahan itu biasa saja. Bukan di gedung besar. Bukan pula penuh pernak-pernik yang membuatnya megah. Sebaliknya, perhelatan itu justru dilakukan di rumah. Cukuplah tenda terpasang di halaman serta jalan buntu di depannya. Sebuah tenda biasa, dan bukan tenda paling megah, Makanan ditempatkan di meja sederhana bertaplak putih di garasi rumah itu. Jumlah undangannya tidak banyak. Hanya kerabat dekat dan sahabat kedua mempelai yang hadir. Pembawa acara serta pembaca doa kerabat sendiri.
Musik dimainkan oleh teman-teman pengantin. Tidak ada beragam upacara adat yang rumit yang mengiringi pernikahan itu. Pakaian serta tata rias pengantin juga biasa saja. Cuma sedikit lebih formal dibanding pada hari biasanya, namun cukup anggun untuk dipandang sebagai gambaran pernikahan. Sekali lagi, tak tampak hal luar biasa dari acara perbnikahan itu. Tetapi, saya merasa sangat nyaman berada di sana. Ada suasana yang jarang saya peroleh dari menghadiri kebanyakan pesta pernikahan pada acara tersebut. Saya merasa, suasana pernikahan itu sangat akrab.
Pembawa acara dengan sangat ringan menyapa, bahkan berseloroh, pada tamu-tamunya. Hal itu wajar karena memang ia mengenalnya persis. Antarkawan juga bisa saling dorong untuk menyanyi, atau memainkan musik. Para tamu juga saling sapa, hingga berbincang akrab. Pengantin juga tak harus terus-menerus berdiri tegak di tempatnya dengan terus-menerus memasang senyum anggun, menunggu diberi ucapan selamat. Sesekali, mereka seperti ‘menjemput bola’, berjalan (kadang bersama, kadang sendiri-sendiri) mendatangi tamu, bertukar kata secara ringan.
Suasana pernikahan demikian sungguh berbeda dengan pesta pernikahan yang kini lazim. Tapi, suasana itu justru mampu mengingatkan: apa makna pesta pernikahan? Kita acap merancang pesta pernikahan seagung dan semegah mungkin. Alasan kita, itu hari yang benar-benar istimewa. Lalu, kita merancang segalanya agar sempurna. Mulai dari bentuk undangan, atribut kenang-kenangan, seragam pakaian, tempat pelaminan, makanan, hiburan, dan sejuta pernak-pernik lainya.
Begitu banyak yang harus diurus, dan begitu banyak yang ingin mengurus agar benar-benar sempurna. Hasilnya, seringkali pesta pernikahan justru menjadi ajang ketegangan keluarga. Alih-alih melahirkan suasana yang hangat, pesta pernikahan banyak yang kemudian menjadi sekadar formalitas. Pesta pernikahan kita acap bergeser fungsi dari acara bersyukur dan memohon doa menjadi ajang pamer gengsi dan atribut diri. Banyak tamu hadir dengan perasaan terpaksa. Tak enak tidak datang karena sudah diundang. Jika demikian, doa restu apa yang dapat kita harapkan?
Kesederhanaan dalam pernikahan hari itu menyeret saya pada pertanyaan yang dalam. Apa ya sulitnya berpikir dan bersikap sederhana seperti itu? Jangan-jangan kerumitan kita dalam menggelar pesta perkawinan adalah refleksi dari kerumitan cara berpikir dan bersikap secara menyeluruh. Kita lebih mementingkan atribut ketimbang makna. Kita memenangkan formalitas dibanding otentitas dan spontanitas. Kita mengedepankan gengsi ketimbang esensi. Pantas jika bangsa kita masih jauh dari efektif. Banyak program pembangunan kita buat, anggarannya pun dahsyat, dan kita menganggapnya hebat, namun kenyataannya kondisi rakyat masih jalan di tempat.
Banyak kerja ilmiah kita lakukan, namun dunia ilmu masih saja di ‘situ-situ’. Banyak dakwah dan ceramah dilakukan, tapi maksiat –termasuk korupsi– masih saja ramai berjalan. Semua itu tampaknya berpangkal pada kita yang tidak lagi mampu berpikir dan bersikap sederhana. Akibatnya kita makin terkendalikan atribut, dan terjauhkan dari makna. Itu yang makin mengasingkan kita (termasuk sebagai bangsa) dari kehidupan yang berkah. Pernikahan sederhana yang akrab di siang itu mengingatkan saya pada kesalahan besar kita selama ini.
Setelah badai disertasi sudah tidak terlalu mengganggu, saya ingin cerita tentang persiapan teknis pernikahan saya yang hanya membutuhkan waktu 2.5 bulan saja. Hahaha.
Special thanks to adek @valinakhiarinnisa yang jadi korlap acara, pengisi acara, sekaligus menjadi sosok yang paling tenang saat masa persiapan pernikahan saya. saya berhutang budi padamu, dek. ^^
Apa sekarang aku sedang dipuncak “Memikirkan yang berlebihan”? Sedang esensi, ketar-ketir menghidar. Hohoho

Tidak ada komentar:

Posting Komentar