Cinta Rasul, Cinta Sang Maha Cinta
tausendsunny:
ditulis oleh tere liye. salah satu kisah sahabat Nabi
yang selalu membuat mata berkaca-kaca. layak untuk diceritakan,
disebarkan pada orang orang tersayang. semoga menjadi pengingat yang
baik untuk kita semua :”)
Bisakah seseorang yang
tidak pernah bertemu Nabi, tidak pernah bercakap-cakap langsung,
termasuk golongan orang yang penting sekali? Bisa. Bahkan, dalam kisah
ini, Umar bin Khattab dan Ali, dua sahabat yang tidak perlu diragukan
lagi kualitasnya, meminta di doakan dan istigfar dari seseorang ini. Dan
Nabi sendiri menyebutnya dengan, ‘Dia bukan orang bumi, dia penghuni
langit"
Lantas apa yang telah dilakukannya? Apakah sesuatu yang
besar, dahsyat yang telah dilakukannya hingga memperoleh posisi begitu
mulia? Apakah dia menyebar ilmu ke seluruh dunia? Panglima perang? Atau
berbuat baik dengan berinfaq setinggi gunung emas? Bukan. Tidak sama
sekali. Dia mendapat derajat itu hanya karena cinta.
Here we go, akan saya ceritakan kisahnya.
Dia
adalah Uwais Al Qarni. Pemuda sederhana yang tinggal di negeri Yaman.
Uwais adalah pemuda miskin, pekerjaannya menggembalakan domba, dari
upahnya tersebut, dia bisa menafkahi hidup, termasuk membantu tetangga
yang juga sama miskinnya. Hidupnya terlalu simpel, terlalu biasa, hingga
luput dari perhatian orang banyak, kalau dia punya tugas yang penting.
Apa tugasnya? Merawat ibunya yang sudah tua. Tidak bosan, tidak lelah.
Merawat ibunya penuh kasih sayang. Pemuda kita ini juga tentu adalah
pemuda yang taat beribadah, rajin, dan siang-malam selalu menambatkan
pengharapan kepada Allah.
Nah, setiap kali ada rombongan pedagang,
atau musafir yang pulang dari Madinah, Uwais selalu datang untuk
mendengarkan cerita2 dari mereka. Uwais ingin mendengar cerita tentang
Nabi, orang2 yang baru bertemu dengan Nabi. Kabar2 tentang Nabi,
dsbgnya. Aduhai, ini juga sebuah rahasia kecil milik Uwais, tidak
kepalang rindunya dia ingin bertemu Nabi, cinta sekali dia kepada Rasul
Allah. Ibarat ingin melihat kekasih hati, tidak terbilang keinginan itu.
Menumpuk tinggi, menjulang cintanya. Pernah ada rombongan yg membawa
kabar tentang perang Uhud, bahwa gigi Nabi patah dilempari batu oleh
musuh2nya. Sedih sekali Uwais ini, dia mengambil batu, lantas mematahkan
giginya sendiri, agar bisa merasakan rasa sakit orang yang amat dia
cintai tersebut. Boleh jadi menurut kebanyakan orang itu tindakan
‘gila’, tapi Uwais melakukannya karena cinta Nabi-nya.
Berbilang
minggu, bulan dan tahun berlalu, akhirnya kesempatan itu datang. Ibunya
yang tua sedang dalam kondisi sehat, dan dia memperoleh ijin dari Ibunya
untuk bisa pergi ke Madinah, bertemu dengan Rasul Allah. Pesan Ibunya
simpel: segera pulang kalau sudah selesai urusan di Madinah. Maka,
setelah menyiapkan keperluan untuk Ibunya, menitipkan Ibunya, Uwais
berangkat ke Madinah. Jaman itu, tentu tidak ada pesawat, mobil,
dsbgnya. Perjalanan ditempuh susah payah, berhari2 hingga tiba di
Madinah.
Sudah semangat sekali Uwais ingin bertemu Nabi, dia
segera bertanya di mana rumah Nabi, bergegas menuju rumah Nabi–mungkin
berlari pontang panting, tersengal, tapi sayang seribu sayang, Nabi
sedang pergi ke medan perang. Aduhai, bagaimanalah ini? Itu situasi yang
tentu bagi kebanyakan orang amat mengecewakan, setelah semua kerinduan,
setelah semua yang telah dia lakukan. Apakah dia harus menunggu Nabi
pulang? Sedangkan Ibunya tertinggal jauh di Yaman, tiada yang
merawatnya. Bagaimana ini?
Maka dengan keputusan berat, Uwais
memutuskan segera pulang ke Yaman. Itu mungkin momen cinta paling
spesial yang pernah ada di muka bumi. Ketika Uwais meluruhkan semua
rindu, pulang. Momen cinta yang sungguh, bukanlah momen cinta 'murahan’
seperti hari ini. Uwais cinta kepada Rasul Allah melebihi siapapun di
muka bumi, bahkan dirinya sendiri, tapi dia harus pulang merawat Ibunya.
Ada skala prioritas, ada logika. Dan mungkin saja, Nabi akan marah
kalau dia ngotot bertemu dengan Nabi, tapi mengorbankan Ibunya.
Uwais pulang. Membawa cintanya pulang.
Berselang
waktu, Nabi juga pulang dari medan perang, di rumah, dia berkata kepada
Aisyah, ada pemuda yang mencarinya saat pergi, pemuda yang taat pada
ibunya, pemuda itu penghuni langit. Aisyah dan para sahabat tertegun.
Aisyah bilang, itu benar, memang ada pemuda dari Yaman yang datang, tapi
bergegas pulang. Rasul Allah menatap Umar dan Ali yang ada di sana,
berkata, suatu ketika, jika kalian bertemu dengannya, mintalah doa dan
istigfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.
Itu tentu kalimat yang amat menakjubkan, keluar dari Rasul Allah.
Waktu
melesat cepat. Rasul Allah sudah wafat, Abu Bakar sudah digantikan Umar
sebagai khalifah. Umar dan Ali selalu ingat kalimat Rasul Allah
tersebut. Maka setiap kali ada rombongan dari Yaman yang datang, mereka
bertanya, apakah ada yang bernama Uwais Al Qarni. Orang2 yang ditanya
merasa heran, siapalah si Uwais ini? Bahkan khalifah bertanya soalnya.
Tidak terbilang rombongan datang, silih berganti, hingga akhirnya, ada
sebuah rombongan yang saat ditanya apakah ada Uwais Al Qarni bersama
kalian, dijawab iya.
Itu benar, ada Uwais di sana, Ibu Uwais telah
meninggal dunia, dan sekarang Uwais bisa berangkat. Umar dan Ali segera
menemui orang yang dimaksud. Orang yang sedang mengurus unta2
rombongan, karena memang dia tetaplah sederhana, bersahaja. Khalifah
Umar bertanya, siapa nama kamu–memastikan. Uwais menjawab pendek,
Abdullah. Umar mengangguk, bilang, kami juga Abdullah, hamba Allah. Tapi
siapakah nama kamu yang sebenarnya. Uwais menyebut namanya. Umar dan
Ali juga bisa melihat tanda di Uwais yang diberikan oleh Rasul Allah
sebelumnya.
Nah, itu juga momen yang mengharukan milik Uwais, saat
Umar dan Ali meminta doa dan istigfar kepadanya. Bagaimana mungkin
Khalifah minta didoakan orang biasa sepertinya. Uwais menggeleng,
bilang, justeru dialah yang harus meminta doa kepada sahabat2 terbaik
Rasul Allah. Umar dan Ali terus mendesak, dan karena itu perintah Rasul
Allah, maka Uwais akhirnya mendoakannya. Pertemuan itu ditutup dengan
permintaan Uwais yang bilang, hamba mohon, cukup hari ini saja hamba
diketahui banyak orang. Biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui
orang lagi.
Waktu melesat lagi dengan cepat. Ketika Uwais wafat di
negeri Yaman, meski dia adalah fakir, tidak terkenal, tidak dikenal,
penguburannya adalah salah-satu yang ramai dikunjungi banyak orang.
Orang2 menggali makam, orang2 yang menshalatkan, orang2 yang mengantar,
orang2 yang mendoakan–entah siapa orang2 tersebut. Kalimat Rasul Allah
benar, Uwais bukan orang bumi, dia adalah penghuni langit, karena rasa
cintanya yang besar, rasa cintanya yang luar biasa kepada Rasul Allah
dan Ibunya.
Mungkin cerita ini bisa membuat kita semua mendefinisikan ulang mana cinta yang sebenarnya. Semoga begitu.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar