udara/uda·ra/
n 1 campuran berbagai gas yang tidak berwarna dan tidak berbau (seperti oksigen dan nitrogen) yang memenuhi ruang di atas bumi seperti yang kita hirup apabila kita bernapas; hawa: berjalan-jalan menghirup -- segar;
udara itu tidak mampu kita lihat
tapi selalu bisa kita rasakan
udara itu tidak mampu kita sentuh
tapi selalu ada untuk kita
dan udara itu layaknya pertemanan kita
hei kamu, terimakasih ya
karena kamu mau menjadi udara untuk ku
dan karena kamu juga mau menerima aku menjadi udara untukmu
dan karena kita sejak pertama kali bertemu entah kapan
akan terus menjadi teman udara :)
Barakallah fiik
telah datang hari H,
hari mu, hari spesialmu, hari berbahagiamu
selamat menapaki lembaran baru
selamat menempuh hidup baru
selamat berlayar dalam bahtera bersama imammu
selamat berbahagia selalu dunia hingga akhirat
aamiin
*di balik layar:
mengenal Na tanpa sengaja, saat hari pertama menjadi mahasiswa.
dan itulah untuk pertama kalinya kami mulai berteman.
dalam perjalanan pertemanan kita, ternyata terkadang kami dalam irisan kehidupan yang dekat, sedekat seperti tanpa sadar aku masuk ke suatu pintu dan Na keluar dari pintu tersebut.
Allah Maha Besar, Allah Perencana Terbaik.
bersama Na, aku pertama kali ikut kegiatan besar
bersama Na, aku pertama kali memegang amanah penting
bersama Na, aku pertama kali bergabung dalam organisasi prestis
bersama Na, aku pertama kali berpetualang ke tempat baru
karena Na, aku memiliki saudara perempuan yaitu Na (salah satu impianku)
karena Na, aku memiliki keluarga baru, saudara baru yaitu keluarga Na (terimakasih)
karena Na, aku memiliki lingkungan pertemanan lebih luas
karena Na, aku memiliki keberanian, wawasan baru, dan hal baru positif lainnya
berjuta bermilyar bertriliyun terimakasih aku sampaikan padamu Na
berjuta bermilyar bertriliyun juga aku sampaikan maaf atas kesalahan yang aku perbuat
dan, berjuta bermilyar bertriliyun terimakasih aku sampaikan selamat untukmu
fyi, kenapa disebut teman udara?karena aku sama Na sering banget boncengan naik motor.
karena kita mobilitasnya tingga dan maunya simple ya milih naik motor, dan bonceng-boncengan aja lebih irit haha
nah karena seringnya boncengan motor, kita sering juga ngobrol di jalan ya dasarnya cewek pasti kosakata yang keluar juga banyak jadi harus disalurkan lewat ngobrol.
dan karena waktu kita banyak di motor, jadilah kita ngobrol pas boncengan.
Na ngomong apa, kadang aku denger kadang engga
aku ngomong apa, kadang Na denger kadang engga
lucu sih tapi itu seni nyaa
jadilah aku menyebut, kita itu teman udara :)
Jumat, 18 November 2016
Jumat, 30 September 2016
(hampir) seperempat abad
"Maka nikmat Tuhan mana yang kamu dustakan?" (QS.Ar-Rahman)
Al-Fatihah.
Syukur syukur dan bersyukur. Allah Maha Baik.
Ini bulan September.
Dan saya masih diberi nikmat umur (dan segala nikmat lainnya yang tidak bisa disebut satu persatu)
Bahagia sekaligus sedih dalam satu waktu.
Bahagia karena masih diberi kesempatan hidup, itu berkah sekaligus amanah berat dari Allah swt.
Dan sedih, itu artinya saya semakin tua (dalam angka) dan berkurang masa hidup saya (tapi entah hanya Allah yang tahu)
Saya tidak perlu kejutan (surprise) ala ala, kue ulang tahun, hadiah, ucapan selamat dan pernak pernik lainnya, kalaupun ada itu hanya bonus.
Saya hanya perlu do'a tulus saja, itu lebih dari cukup.
Terimakasih atas segala do'anya
Maaf atas segala kesalahan yang telah saya perbuat di sepanjang umur saya yang menginjak (hampir) seperempat abad
Tolong ingatkan saya untuk lebih lebih dan lebih baik tiap harinya yaaa
Selamat datang usia (hampir) seperempat abad, alhamdulilah :)
Kamis, 08 September 2016
Kenapa ya, kata kak Dhira *repost*
Kenapa ya, Kok Gue Belom Nikah-Nikah?
“Kenapa sih, gue ga nikah-nikah? Padahal, menurut gue, gue udah mempersiapkan diri gue lebih banyak ketimbang temen gue yang baru nikah itu?“Ini adalah pertanyaan klasik yang akhir-akhir ini sering gue denger dan ntah kenapa orang-orang ini nanya pertanyaan ini ke gue juga. Jujur, awalnya gue sempet beberapa kali nanya pertanyaan itu ke diri gue sendiri. “Kenapa ya, kok dia udah nikah? Kenapa ya, kok gue belom? Gue kurangnya di mana, kok Allah masih merahasiakan keberadaan si pangeran sampe sekarang?“
Gue yakin sih, pertanyaan kayak gitu pasti udah sering banget keluar dari orang-orang yang merasa sudah siap menikah, tapi jodohnya masih belum dikasih sama Allah. Gue yakin, pertanyaan kayak gitu bukannya bikin kalian tambah tenang, malah bikin tambah stress. Dan gue yakin juga, ga ada satupun orang yang bisa menjawab pertanyaan itu dengan jawaban yang jelas. Semua orang yang ditanya, pasti jawabannya serba mungkin, “Ya mungkin kamu…“Makanya, makin kesini gue makin sadar kalau pertanyaan kayak gitu tuh gausah ditanyain lagi, karena ga akan pernah ada habisnya. Hal kayak begini itu udah bener-bener jadi rahasia Allah yang ga akan pernah ketemu jawabannya walaupun kita berusaha nanya-nanya ke orang atau bolak balik nanya ke Allah setiap habis shalat.Kan ga mungkin tiba-tiba lagi doa gitu, tau-tau ada suara datang memberi jawaban, “Iya Dhira, jodohmu datang besok pagi.“ Horor bengjet keles. Yang ada malah kalang kabut, kalau tiba-tiba denger suara-suara kayak gitu haha.Sekarang, gue lebih milih fokus nanya, “Bagaimana ya caranya supaya akhirnya Allah melihat gue siap menikah dan pada akhirnya sang pangeran sejatipun muncul?“Formulasi pertanyaannya sekarang ‘Bagaimana‘. Berhenti nanya, ‘Kenapa…kenapa..dan kenapa…‘ Buang-buang waktu, kawan. Ga akan ada jawabannya juga. Iya, kan?Percaya deh, ‘Jodoh kita pasti datang tepat waktu dan Allah pasti punya alasan kenapa belum memberikan jodoh kita sekarang.‘ Mungkin salah satu cara, supaya kita bisa tahu apa yang harus diperbaiki dalam diri kita, dengan melihat sekeliling kita. Bisa jadi, hal-hal besar mengenai pernikahan kita sudah menguasai, tetapi justru hal-hal paling kecil kita belum bisa atau belum terbiasa melakukannya. Contoh :Bisa jadi pasanganmu nanti itu seneng ngundang tamu ke rumah.Tapi, sampai sekarang mungkin kamu belum bisa memuliakan tamu. Kenapa? Karena menurutmu hal yang bikin sebel kalau ada tamu datang ke rumah, ketenanganmu jadi terganggu. Jadi harus repot-repot pake kerudung misalnya. Jadi harus nyuguhin minum atau nyiapin makanan buat sang tamu misalnya. Jadi harus ngeluangin waktu buat ngobrol sama tamu, padahal kamu lebih suka diem di kamar dibandingkan keluar kamar misalnya. Jangankan tamu sendiri, tamu orang tuamu yang dateng aja kamu cuekin. Ibumu sibuk nyiapin suguhan untuk tamu, buat minum, sampe bingung nyuguhin makanan karena ternyata hari itu ga masak apa-apa. Akhirnya ibumu sibuk keliling komplek untuk cari tempat jualan makanan yang buka hari itu, kamunya ga terusik. Asik aja sendiri di kamar. Tamu dateng bukannya salim, malah sibuk ngeloyor aja. Bikin malu orang tuamu misalnya. Coba itu, mau jadi istri kayak gitu? Nanti kamu mau menyambut setiap tamu dari suamimu gimana caranya coba? Yang kayak gitu kan, ga bisa langsung ‘CLING‘ terbiasa.Hayo, coba bayangin kalau kamu nikah sekarang? JGERR Tralalala, puyeng udah. Apalagi kalau tamu suamimu dateng tiap hari dan kamu posisinya belum punya pembantu. Nahloh, mau apa hayo? Mau diem aja di kamar?Makanya mungkin kata Allah, kamu harus belajar memuliakan tamu dulu sekarang. Karena bisa jadi, hanya karena masalah ini yang bikin kamu dan suamimu bertengkar hebat di kemudian hari. Iya kan? Bisa jadi hayoh. Hal ini sepele loh, tapi kamu udah bisa belom?Atau bisa jadi, ternyata kamu itu sekarang ga ‘care‘ orangnya. Orang tua masih lengkap, punya saudara kandung juga, tapi kamu sibuk sendiri. Merasa orang tersibuk sejagad. Jarang punya quality time sama keluarga. Bisa diitung jari, kapan terakhir kali kamu ngobrol sama keluargamu. Sampai ga menyadari bahwa orang tuamu itu semakin lama semakin tua, sudah banyak lupanya. Mereka butuh perhatian lebih darimu. Sekedar untuk ngobrol sebentar, sekedar ingin untuk dibuatkan kopi di pagi hari, sekedar ingin dipeluk dan dicium sebentar olehmu. Tapi kamu ga peduli, kamu sibuk sendiri. Merasa kamu sudah besar, malu memeluk atau mencium orang tuamu sendiri. Hei, kamu itu anaknya. Peluk dan cium itu berlaku sepanjang usia, loh. Mumpung orang tuamu masih ada, masih bisa melakukan itu semua. Coba kalau sudah tidak ada, mau mencium tanah di kuburan mereka? Apa enaknya?Buat jejak kehadiran orang tuamu di dalam ingatanmu. Sehingga ketika mereka dipanggil Allah, kamu masih ingat bagaimana rasanya hangatnya pelukan orang tuamu, bagaimana lembutnya kedua pipi orang tuamu ketika kamu menciumnya, bagaimana asiknya mendengar tawa renyah orang tuamu ketika kamu bercerita tentang kejadian lucu di hari itu…Kamu juga ternyata punya saudara kandung yang sekarang sudah semakin besar. Bahkan kamu ga tahu mereka sekarang kelas berapa, umurnya berapa. Kamu ga tahu bahwa sebenarnya adik atau kakakmu menunggumu pulang setiap hari hanya untuk curhat masalah pekerjaannya atau sang adik ingin minta perlindungan kepadamu bahwa sebenarnya tiap hari dia di bully di sekolahnya, tapi takut untuk mengadu ke ayah dan ibumu. Hanya kamu tempat adikmu menaruh harapan untuk cerita, tapi kamu tidak pernah ada waktu. Handphone sudah menjadi temanmu, pekerjaan lebih kamu sayang ketimbang keluargamu sendiri.Mungkin, alasan kenapa Allah belum mengizinkan kamu menikah adalah Allah ingin kamu lebih menyayangi dulu keluargamu. Memberikanmu waktu luang untuk habis-habisan mecurahkan kasih sayang yang kamu punya ke keluargamu. Memijat orang tuamu ketika mereka lelah karena sudah terlalu tua, meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah saudara-saudara kandungmu, menyisihkan sedikit waktu diantara waktu sibukmu untuk jalan-jalan bersama keluargamu. Karena bisa jadi, suamimu nanti akan membawamu pergi jauh tinggal di luar pulau atau bahkan ke luar negeri dalam jangka waktu yang sangat lama, sehingga akan bertambah sulit untukmu bertemu dengan keluargamu. Sekarang, mumpung waktunya masih ada…pergunakan coba :)Karena banyak alasan tersembunyi kenapa Allah belum memberikan jodoh kita sekarang. Tapi bisa jadi clue yang Allah berikan muncul, ketika kita mencoba melihat kesekeliling dan melihat ke dalam diri kita sendiri. Mungkin ikhtiar kita kurang kuat untuk menikah. Mungkin level pasangan kita sebenarnya ada di atas kita, sehingga kita harus berusaha keras memantaskan diri supaya levelnya bisa sejajar dengan pasangan kita nanti. Mungkin selama ini cara kita berhubungan dengan lawan jenis itu salah. Bagaimanapun usaha kita, kalau cara yang dipakai tidak sesuai dengan aturan dari Allah, maka bisa jadi Allah ga ridha. Jadi wajar kalau ujung-ujungnya ga berakhir di pelaminan.Coba direnungkan lagi apa yang salah dalam diri kita. Kalau perlu tanya ke orang-orang terdekat kita, apa yang harus diperbaiki dalam diri supaya menjadi semakin dekat dengan Allah. Karena ketika ingin menikah, yang dirayu itu bukan sang calon pasangan, tapi Allah yang mesti dirayu, Allah yang mesti di deketin :)Tugas kita sekarang fokus beneran deh, memperbaiki diri karena Allah. Ga ada jawaban lain kayaknya. Berhenti nanya-nanya, “Kenapa gue belom nikah?” Karena ujung-ujungnya hati kita bisa penuh berisi rasa iri terhadap orang lain ketimbang membuat diri kita sendiri menjadi lebih baik.Terus bisa jadi Allah itu sebenernya kangen berat sama kamu. Allah pengen denger kamu meminta kepada-Nya, kriteria pasangan hidup seperti apa yang sebenarnya kamu mau. Bisa jadi selama ini kamu cuma sibuk pengen aja, tapi ga pernah berdoa sama Allah untuk dipilihkan kriteria pasangan hidup yang kamu inginkan. Memang, Allah selalu tahu segalanya tentang keinginan hamba-Nya tanpa harus berdoa. Tetapi ingat ya, ketika ingin sesuatu itu ada etikanya. Berdoa salah satu caranya. Allah senang ketika hamba-Nya meminta. Allah senang ketika kamu mendekat dan bercerita mengenai setumpuk keluh kesahmu.Allah ada untuk kita, Allah ada untuk hamba-Nya. Memperbaiki diri kita, meminta, mendekat kepada-Nya adalah cara untuk kita dalam berikhtiar mendapatkan jodoh yang selama ini kita harapkan kedatangannya. Karena Allah ingin Ia selalu dilibatkan dalam setiap gundah gulananya kita. Karena Allah ingin selalu mendengar kita meminta :).Allah yang mengatur semuanya, Allah pula yang memberikan skenario cinta kepada masing-masing hamba-Nya dengan alur cerita yang berbeda. Jodoh kita pasti datang tepat pada waktunya dan bisa jadi datang dari arah yang tidak disangka-sangka sebelumnya :)Bogor, 16 April 2015Hati kita milik Allah, hati pasangan hidup masa depan kitapun milik-Nya.Semoga masing-masing dari kita dipertemukan dengan jodohnya dengan jalan yang luar biasa indah dari-Nya :)
Rabu, 31 Agustus 2016
MAMAH
CONVERSATION BETWEEN A MOTHER AND HER SON
islamicthinking:
islamicthinking:
Mother:
I fought with death when I was giving birth to you. I spent sleepless nights when you were sick and crying. I never ate without feeding you first. I bore so many pains to bring you to the stage that you are in today. How will you repay me my son?
Son:
When I grow up, I will find a good job and earn lots of money for you so you can enjoy the pleasures of this world.
Mother:
Your father is doing this already and I do not expect this from you too. By the time you are earning I will be old and will not be in need of any worldly luxuries.
Son:
I will find a pious lady and marry her so she can cook for you and take care of you.
Mother:
That is not her duty my son and neither should you marry for that reason. It is not compulsory on her to do any service to me, neither do I expect this from her. Your marriage should be for you, a companion and a comfort for you as you go through this journey of life.
Son:
Tell me mother how can I repay you then?
Mother:
(With tears in her eyes) Visit or call me often. A mother only requires this much from you while she is alive. Then when I die give me your shoulder and bury me. Whenever you perform prayers, supplicate for me. Give out in charity for me. Remember your every good deed will benefit me in the hereafter so be good and kind always. Fulfill the rights of Allah SWT and all those around you. The sleepless nights and pains I took to bring you up was not a favour to you but was for my creator. He blessed me with you as a beautiful gift and as a means for me to attain His pleasure. Your every good deed becomes my repayment. Will you do it my son?
Son:
(Cannot speak and has tears in his eyes)
May we all be of those that are a coolness of our parents eyes and a means of their purification.
“Say My Lord be merciful to them as they brought me up in my childhood”
(Surah Al-Israa)
http://www.islamicthinking.info/
Senin, 29 Agustus 2016
Indikator (repost mbak apik)
B : ....tapi aku nyaman gitu sama dia
A : kamu tau ngga ujian perasaan sebenernya adalah ketika orang yang suka sama kamu itu--ternyata juga orang yang kamu suka.
B : ....
A : hmm, ada indikator yang kembali aku ingatkan. Kamu udah tau konsep ini sebenernya
B : Apa?
A : Keseriusan seorang pria bukan dari seringnya dia ngechat atau kasih kabar hingga bikin kamu nyaman. Tapi ukuran keseriusan seorang pria diukur dari saat dia berani bilang "aku boleh kerumahmu untuk ketemu ayahmu?"
B : duh jleb! Ya sih aku setuju. Nyaman tapi ga berani melangkah ke ayah juga percuma. Kalo ayah pilih yang lain, dia mah bisa apa.
A : So, kalo dia berani ketemu ayahmu--berarti dia serius kalo dia cuman bilang udah makan belum, udah tidur belum, jaga kesehatan, anak alay yang pengangguran bisa lebih dari hanya sekedar itu
B : iya, ampun :"""
A : hari gini cari yang serius dong. 2016 no drama katanya? Jangan ikutan alay! Urusin negara aja sana daripada urusin beginian. Masih banyak yang harus dipikirin, laaay!
B : iyee iyeeeeeee -_-
Kamis, 25 Agustus 2016
Re-blog : Pernikahan yang Akrab
tulisansusi
avinaninasia:
jamikanasa:Apa sekarang aku sedang dipuncak “Memikirkan yang berlebihan”? Sedang esensi, ketar-ketir menghidar. Hohoho
Tulisan ini adalah karya Bapak Zaim Uchrowi yang saya temukan di blog beliau pagi ini. Bagi saya tulisan ini cukup membuat pagi saya ‘bangun’ dan tersadar: mengapa tak menjadi yang sederhana saja?Setelah badai disertasi sudah tidak terlalu mengganggu, saya ingin cerita tentang persiapan teknis pernikahan saya yang hanya membutuhkan waktu 2.5 bulan saja. Hahaha.
Zaim Uchrowi
Republika, 17 Maret 2007
Baru-baru ini saya menghadiri pernikahan seorang kerabat. Pesta pernikahan itu biasa saja. Bukan di gedung besar. Bukan pula penuh pernak-pernik yang membuatnya megah. Sebaliknya, perhelatan itu justru dilakukan di rumah. Cukuplah tenda terpasang di halaman serta jalan buntu di depannya. Sebuah tenda biasa, dan bukan tenda paling megah, Makanan ditempatkan di meja sederhana bertaplak putih di garasi rumah itu. Jumlah undangannya tidak banyak. Hanya kerabat dekat dan sahabat kedua mempelai yang hadir. Pembawa acara serta pembaca doa kerabat sendiri.
Musik dimainkan oleh teman-teman pengantin. Tidak ada beragam upacara adat yang rumit yang mengiringi pernikahan itu. Pakaian serta tata rias pengantin juga biasa saja. Cuma sedikit lebih formal dibanding pada hari biasanya, namun cukup anggun untuk dipandang sebagai gambaran pernikahan. Sekali lagi, tak tampak hal luar biasa dari acara perbnikahan itu. Tetapi, saya merasa sangat nyaman berada di sana. Ada suasana yang jarang saya peroleh dari menghadiri kebanyakan pesta pernikahan pada acara tersebut. Saya merasa, suasana pernikahan itu sangat akrab.
Pembawa acara dengan sangat ringan menyapa, bahkan berseloroh, pada tamu-tamunya. Hal itu wajar karena memang ia mengenalnya persis. Antarkawan juga bisa saling dorong untuk menyanyi, atau memainkan musik. Para tamu juga saling sapa, hingga berbincang akrab. Pengantin juga tak harus terus-menerus berdiri tegak di tempatnya dengan terus-menerus memasang senyum anggun, menunggu diberi ucapan selamat. Sesekali, mereka seperti ‘menjemput bola’, berjalan (kadang bersama, kadang sendiri-sendiri) mendatangi tamu, bertukar kata secara ringan.
Suasana pernikahan demikian sungguh berbeda dengan pesta pernikahan yang kini lazim. Tapi, suasana itu justru mampu mengingatkan: apa makna pesta pernikahan? Kita acap merancang pesta pernikahan seagung dan semegah mungkin. Alasan kita, itu hari yang benar-benar istimewa. Lalu, kita merancang segalanya agar sempurna. Mulai dari bentuk undangan, atribut kenang-kenangan, seragam pakaian, tempat pelaminan, makanan, hiburan, dan sejuta pernak-pernik lainya.
Begitu banyak yang harus diurus, dan begitu banyak yang ingin mengurus agar benar-benar sempurna. Hasilnya, seringkali pesta pernikahan justru menjadi ajang ketegangan keluarga. Alih-alih melahirkan suasana yang hangat, pesta pernikahan banyak yang kemudian menjadi sekadar formalitas. Pesta pernikahan kita acap bergeser fungsi dari acara bersyukur dan memohon doa menjadi ajang pamer gengsi dan atribut diri. Banyak tamu hadir dengan perasaan terpaksa. Tak enak tidak datang karena sudah diundang. Jika demikian, doa restu apa yang dapat kita harapkan?
Kesederhanaan dalam pernikahan hari itu menyeret saya pada pertanyaan yang dalam. Apa ya sulitnya berpikir dan bersikap sederhana seperti itu? Jangan-jangan kerumitan kita dalam menggelar pesta perkawinan adalah refleksi dari kerumitan cara berpikir dan bersikap secara menyeluruh. Kita lebih mementingkan atribut ketimbang makna. Kita memenangkan formalitas dibanding otentitas dan spontanitas. Kita mengedepankan gengsi ketimbang esensi. Pantas jika bangsa kita masih jauh dari efektif. Banyak program pembangunan kita buat, anggarannya pun dahsyat, dan kita menganggapnya hebat, namun kenyataannya kondisi rakyat masih jalan di tempat.
Banyak kerja ilmiah kita lakukan, namun dunia ilmu masih saja di ‘situ-situ’. Banyak dakwah dan ceramah dilakukan, tapi maksiat –termasuk korupsi– masih saja ramai berjalan. Semua itu tampaknya berpangkal pada kita yang tidak lagi mampu berpikir dan bersikap sederhana. Akibatnya kita makin terkendalikan atribut, dan terjauhkan dari makna. Itu yang makin mengasingkan kita (termasuk sebagai bangsa) dari kehidupan yang berkah. Pernikahan sederhana yang akrab di siang itu mengingatkan saya pada kesalahan besar kita selama ini.
Special thanks to adek @valinakhiarinnisa yang jadi korlap acara, pengisi acara, sekaligus menjadi sosok yang paling tenang saat masa persiapan pernikahan saya. saya berhutang budi padamu, dek. ^^
Jika kelak aku . . . (repost)
Jika kelak aku menikah dengan yang sebaya, aku ingin melukis kisah semisal ‘Ali dan Fathimatuzzahra. Keduanya, saling mencintai karena iman. Fathimah yang sabar walau suami pulang tanpa membawa harta, juga Ali yang tetap bertanggung jawab meski harus bekerja sebagai kuli dengan gaji segenggam kurma. Ah, indahnya…
.
Jika kelak aku menikah dengan yang lebih muda, aku ingin memahat cerita seperti Usman bin ‘Affan dan Naila as-Syam. Keduanya, tetap menyayangi walau yang satu telah beruban dan yang satu lagi berumur belasan. Duhai, sebaik-baik guru adalah suami yang shaleh. Maka Naila belajar pada Usman yang lebih dewasa. Belajar untuk semakin menshalehahkan diri, hingga, ia merelakan jemarinya putus karena menahan pedang musuh yang hendak membunuh suaminya. Dan seba'da Usman wafat, konon, Naila mencakar wajah cantiknya agar tak ada seorang pun yang mau melamarnya. Ia amat mencintai kekasih jiwanya.
.
Jika kelak aku menikah dengan yang lebih tua, aku ingin mengukir cinta laksana Rasulillah dan Khadijah al-Kubra. Keduanya, saling mengasihi sekaligus menebar cinta pada sesama. Khadijah adalah sebaik-baik istri, ia senantiasa menenangkan seperti seorang ibu, ia selalu menemani seolah sahabat sejati, ia mengorbankan harta benda demi dakwah sang suami. Dan sungguh hanya Khadijah-lah, cinta pertama yang tak pernah dimadu oleh sang Rasul.
.
Di atas pernikahan, umur tak lagi jadi soalan. Sebab nikah adalah proses pendewasaan diri, proses perbaikan diri, dan proses menshalehakan diri. Sesekali, jadikan pasangan kita sebagai guru, kita hormat padanya. Sesekali, jadikan pasangan kita sebagai sahabat, kita tertawa bersamanya. Sesekali, jadikan pasangan kita sebagai adik, kita manjakan ia sepenuhnya.
.
Sekali lagi setelah menikah, yang terpenting bukan tentang usia berapa, tapi tentang perjalanan seperti apa. Dan pastikan, perjalanan rumah tangga kita seperti pelangi, banyak warna yang menaungi.
Aby A Izzudin
Sumber : Uni @MaghlebElmir
Langganan:
Postingan (Atom)